Suatu
hari penulis menghadiri sebuah acara training dan talkshow. Acara ini memang
menarik saya, karena temanya sesuai dengan kondisi saya yang mulai
malas-malasan belajar.
Saat
itu, sebelum acara dimulai, sebagian peserta yang hampir 2/3 adalah wanita,
masih berada di luar ruang ruangan. Acara yang dijadwalkan dimulai jam 9 agak
molor disebabkan keterlambatan ‘bapak-bapak’ yang akan menyampaikan kata
pengantar atau sekedar sambutan di sesi pertama (pembukaan) acara ini. Adapun
sesi kedua adalah penyampaian materi.
Ketika
itu saya merasa cukup tidak ‘nyaman’ (mata dan hati) menyaksikan cukup banyak
mahasiswi yang berpakaian, menurut saya, terlalu berlebihan. Berjilbab gaul,
tetapi baju dan celana jeans yang mereka pakai sangat ketat. Sehingga, ya
begitu, siapapun yang memandang bisa langsung tahu bentuk dan lekuk-lekuk tubuh
mereka (minta maaf kalau kurang sopan). Saya kemudian berpikir, oh mungkin
karena saya jarang hadir dalam acara-acara yang semisal ini, yang mengumpulkan
orang dari berbagai macam ‘background’. Atau mungkin selama ini yang saya
saksikan adalah lebih banyak mahasiswi-mahasiswi Melayu yang memakai baju
kurung.
Terlepas
dari faktor keterkejutan saya itu, saya kira semua akan sepakat bahwa ada
ketenangan dan kesejukan tersendiri ketika kita menyaksikan seorang wanita yang
berjilbab dan berpakaian sesuai dengan yang Islam tuntunkan.
Adapun
faktor yang mendorong mereka berperilaku demikian bisa beragam. Bisa jadi
mereka hanya ikutan-ikutan; yang penting berjilbab, terpengaruh oleh tren,
takut dijauhi, dll. Jadi ada faktor dari dalam diri dan ada faktor dari luar.
Faktor
dari dalam ini, yaitu berupa pemahaman yang mendalam dan didasari oleh keimanan
yang teguh, adalah hal pertama dan terpenting. Mereka yang paham bahwa tuntunan
Islam untuk berjilbab adalah bukan sekedar masalah fashion tetapi bentuk
ketaatan dan sumber aliran deposit pahala, akan lebih konsisten bertahan dengan
‘pilihannya’. Karena ketika melakukan sebaliknya, mereka akan berpikir bahwa
setiap saat itu mereka melanggar perintah-Nya. Di sinilah pentingnya penanaman
keimanan, percaya bahwa setiap perilaku ada konsekuensinya.
Tidak
kalah pentingnya adalah penanaman pemahaman akan hikmah dan tujuan
diwajibkannya jilbab bagi wanita muslimah. Al-Qur'an menjelaskan bahwa di
antara hikmah pensyariatan jilbab adalah agar wanita muslimah lebih mudah
dikenali dan tidak mendapat perlakuan buruk. Jadi, jilbab terkait dengan
identitas. Dan tentunya identitas sangat terkait erat dengan kehormatan, posisi
seseorang dan cara pandang orang lain kepada seseorang tersebut. Inilah cara
Islam ingin memuliakan wanita. Coba apa yang anda pikirkan ketika anda berjalan
di jalan dan berpapasan dengan wanita yang memakai baju ‘anaknya’ dan celana
yang ‘belum jadi’. Memang akan ada yang mengatakan bahwa ia menikmati
pemandangan itu, tapi jika ia jujur untuk menjawab bagaimana pendapatnya
tentang wanita tersebut, maka jawabannya adalah wanita murah. Siapa yang mau
disebut wanita murah? Tentu tidak ada.
Permasalahanya,
wanita muslimah sekarang ini sedikit yang pemahamannya sampai kepada tingkatan
ini. Ada juga yang sudah mengerti, paham, akan tetapi tidak kuat dengan budaya
di lingkungannya. Ilmunya ‘keok’ ketika diadukan dengan ketakutan-ketakutannya
untuk tidak ‘terasingkan’ atau ketakutan-ketakutannya untuk tidak diminati oleh
kaum Adam. Maka pengetahuan saja tidak menjamin seseorang bisa konsisten
berjilbab yang syar’i.
Terkait
dengan faktor dari luar, ada satu hal yang sangat penting untuk dipahamkan
kepada para wanita. Yaitu tujuan dari iklan-iklan yang kemudian ini secara
perlahan-lahan ingin dijadikan budaya di masyarakat. Mereka perlu
mempertanyakan apakah betul bahwa cantik, anggun, menarik adalah seperti yang
digambarkan oleh media-media; berpakaian tetapi memamerkan aurat, berpakaian
tetapi tubuh mereka masih terlihat jelas. Apakah betul demikian? Sekali lagi,
tanya dan jawab dengan jujur. Atau jangan-jangan itu hanya alat mereka untuk
meyakinkan orang agar mau membeli produk mereka.
Kita
patut bertanya, kenapa wanita ada dalam iklan rokok, iklan minuman, dsb. Apa
hubungannya rokok dengan wanita? Tidak ada. Di sinilah cerdasnya mereka. Mereka
tau bahwa wanita memiliki daya tarik sendiri untuk menjadikan suatu produk
terlihat bagus. Jadi, ditampilkannya wanita dalam iklan-iklan tersebut, dengan
berpakaian tidak islami, hanyalah sebagai alat. Coba lihat ketika ada lowongan
pekerjaan, yang tertulis adalah dicari wanita dengan penampilan ‘menarik’. Dan
hampir dalam banyak hal wanita hanya dijadikan alat.
Di
saat yang sama, mereka ingin membodohi orang-orang bahwa fashion yang dikenakan
oleh wanita dalam iklan yang ditampilkan tersebut adalah fashion yang paling
bagus dan sesuai dengan ‘zaman’. Dan sangat disayangkan sedikit yang mencoba
agak kritis melihat ini. Mereka ‘mengamini’ saja apa yang didiktekan kepada
mereka. Mereka tidak sadar bahwa ada hubungan yang kuat antara bisnis dan
wanita. Wanita menjadi ‘pemoles’ terampuh untuk memperlancar penjualan produk
atau hanya dijadikan pembeli, untuk tidak mengatakan korban. Pakaian-pakaian
murahan tersebut dipromosikan sebagai pakaian paling trendi, modis dan membuat
wanita tampil cantik lagi ‘menawan’. Mereka diyakinkan seperti itu, lalu mereka
membeli.
Memang
berat bagi wanita muslimah untuk konsisten dengan ajaran islam ini di tengah
derasnya budaya-budaya non islami yang subur berkembang. Belum lagi
pemikiran-pemikiran menyimpang tentang syariat jilbab dari sebagian sarjana
Islam yang dipromosikan di media-media lokal yang berpengaruh. Maka,
beruntunglah anda yang ghuraba, terasing karena teguh memegang ajaran-Nya.
Beruntunglah
wanita yang paham akan indahnya syariat jilbab sebagai bagian ajaran Islam.
Bahwa Islam ingin memuliakan wanita. Ia tidak membiarkan wanita bisa dinikmati
begitu saja, oleh siapa saja. Wanita dihormatkan dengan fungsinya sebagai
pendamping suami, ibu sekaligus pendidik bagi anak-anak dan anak yang
melahirkan cucu yang dibanggakan bagi kedua orang tua dan keluarganya.
Beruntunglah
wanita yang paham bahwa ia semakin cantik dan dihormati dengan berjilbab sesuai
dengan syariat. Yang yakin bahwa keridhaan Tuhannya adalah melebihi segalanya.
Yang yakin bahwa ‘penerimaan’ dari manusia tidak semestinya menggiring ia untuk
melanggar perintah-Nya. Yang yakin bahwa suami yang terbaik telah disiapkan
untuknya, karena ia mentaati-Nya.
Kalau
orang berkata, ya lumayanlah daripada tidak berjilbab sama sekali. Maka mari
kita jawab, kalau bisa lebih baik dari itu kenapa tidak. Kalau ada emas sepuluh
keping di hadapan kita, kenapa hanya mengambil satu?
Semoga
Allah melapangkan hati kita untuk memahami ajaran-Nya dan mengamalkanya dengan
konsisten hingga akhir hidup. Amiin. [voa-islam.com]
| Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar